ini ceritaku, apa ceritamu ???


                 SINTREN, DUNIA TANPA BATAS
                                                           Oleh: Desi Komalawati, S.S.

Tanpa tersadar aku kini mulai memasuki masa silam yang hampa. Masa dimana dulu ragaku menjadi santapan sepasang mata bola yang hendak mencengkram lingkaran dalam jantung sang penguasa panggung yang menggerakkan ragaku, meliuk-liukkan tubuhku hingga tak berdaya.
            Tanpa aku, bagaimanakah sebuah pertunjukkan bisa disaksikan banyak jiwa yang haus akan surga dunia dalam alunan gerak dan lagu.
            Ketika pusaran cahaya tak mau menampakkan batang auranya lagi, lalu muncullah senyuman purnama yang menampakkan kecantikannya di tengah keremangan malam. Saat itulah suara dentingan musik dan alunan sinden mulai menggeliat masyarakat sekitar untuk mendekatkan diri di keramaian bunyi-bunyian itu.
            Suasana terasa mencekam. Seiring ditiupkannya dupa dari sang penguasa panggung. Kini hanya aku dan Ki Ageng yang tampil. Ki Ageng kemudian membawa nampan berisi  kembang dan perlengkapannya. Ditambah dupa yang segera dibakarnya. Bau dupa kemudian menyebar ke seluruh penjuru.
Alunan musik perlahan-lahan mulai membahana mengisi keheningan malam. Ki Ageng kemudian memberikan isyarat agar aku melangkah ke tengah lapangan. Aku yang terlihat eksotik dalam balutan kebaya siap untuk membahasakan dunia dengan tubuhku.
Seperti cahaya malam itu, aku mulai bergerak perlahan. Seperti semburat kilatan aku berkelebat pelan. Bergerak, yang tak menjelmakan kesunyian malam itu.  Langkah demi langkah, ayunan demi ayunan, semua mata menyaksikan. Jari-jariku seperti sapuan tangan yang hendak melayang bagaikan cahaya cintaku yang tak akan pernah berpijar di langit malam waktu itu menyiratkan kesunyian hatiku saat itu. Aku melayang-layang berputar lewat gerakan auraku yang tak bisa diterjemahkan mata-mata yang memandang. Namun gerakanku tak akan pernah redup sampai kini kusimpan dalam album kenangan yang akan terus menjelma dalam kenangan kelabu.
Saat itulah aku tak berdaya. Rupaku yang semula lugu, kini menjadi pemberontak yang ulung. Aku tak lagi bisa menguasai diriku. Dengan tubuh terikat namun tetap meliuk-liukkan tubuhku, aku dimasukkan dalam sebuah kurungan ayam.
Kelam. Cahaya menjadi redup. Kelam dan samara-samar. Sampai aku berada dalam satu ruangan yang samar dan hampa. Di sanalah kemudian aku dibawa ke alam bawah sadar yang tak dapat terjamah oleh siapapun, begitupun aku. Terkadang aku merasakan ada semacam sosok yang singgah di tubuh ini. Tapi aku tak dapat merabanya. Memastikan siapakah gerangan dirinya. Sosok itu begitu menyatu dengan diriku, berbaur lebur dalam satu pembuluh darah yang belum beku. Kadangkala tubuh ini merasakan hangat luar biasa namun juga berbaur dengan rasa dingin, bagai hidup di bongkahan es yang terjal tak berkabut sepanjang cakrawala yang terbentang di belahan dunia. Aku telah dikuasai sesosok yang entah siapa mengajakku pergi ke suatu tempat yang hiruk pikuk dengan keramaian yang tanpa batas.
Entah siapa yang melepaskan ikatanku, ketika aku berada dalam kurungan ayam tanpa sesosok manusia yang dapat bernafas ikut denganku. Setelah keluar dari kurungan ayam, tubuhku terlihat cantik dengan balutan kebaya yang menawan. Aku menari jika penonton memberikan saweran uang yang mengenai tubuhku. Mataku gelap, karena tertutup kacamata hitam, yang entah siapa yang memakaikannya. Hingga terdengar suara yang menyuruhku masuk lagi dalam kurungan ayam dan tubuhku kembali seperti semula mengenakan pakaian seadanya.
Aku tertunduk lemas, tetapi jiwaku melayang memandang orang-orang disekelilingku berjejer tersenyum dalam kabut keremangan malam. Ketika cahaya tiada terlihat lagi bias-bias senyumannya.
“Hebat”
“Penarinya masih anak-anak ya, tapi dia sudah pintar”
Semuanya bersorak. Namun jiwaku masih melayang karena tersedot pusaran. Tetapi semakin lama semakin lemah sedotannya. Dan anehnya aku tetap saja melayang dan mengembang melihat dengan mata samar kerumunan orang-orang yang memandang dengan bibir yang mulai tersungging melihatku kembali berdiri. Kemudian ketika kabut akhirnya berpendar  di keremangan malam yang mulai tak menampakkan senyuman purnama. Akupun mendarat perlahan dalam panggung yang hanya diliputi cahaya malam.
Itulah kehidupanku dulu. Kehidupan di dunia yang ada dan tiada. Di dunia yang tanpa batas yang sampai kini tidak aku mengerti.
Dari sosok lugu sebagai penari yang masih perawan di batas usiaku yang belum genap remaja SMA, diriku mendapatkan uang dengan menjual tubuhku sebagai tontonan puluhan pasang mata yang haus akan hiburan yang tidak masuk akal bagi orang-orang yang menontonku.
                                    ***
Bibirku terkatup ketika Dewan Kesenian menganugrahiku penghargaan penari budaya Cirebon terbaik. Aku gembira sekaligus heran, mengapa penghargaan yang “menjual” kemolekan tubuhku pantas aku terima yang notebene ada penari lain yang menggerakkanku. Ini sesuatu yang tidak masuk akal, pantaskah aku terima? Batinku masik berkecamuk.
Masa itu menjadi masa yang paling indah bagiku. Masa di mana aku menjadi idola cilik yang dikagumi di kampungku sebagai seorang seniman.
Seniman atau pekerja seni. Aku bangga dengan sebutan ini. Sebagai seorang seniman aku bisa menjadi apa saja dari mulai pembantu sampai pejabat. Dari miskin menjadi kaya. Dari bayi hingga dewasa. Semua berjalan dan berlalu bagai air. Mengalir. Menjalar ke seluruh sukma kehidupan yang selalu dibutuhkan oleh orang lain.
Ketika pada suatu saat Duta Besar Amerika memanggil rombongan sintren kami untuk mempertunjukkan kesenian Indonesia di negaranya.
Lalu aku bersama Ki Ageng, 3 orang sinden serta beberapa orang lainnya terbang menggunakan burung besi ke negara adikuasa tersebut.
Tanpa membuang waktu banyak rombongan kami yang baru 5 jam mendarat langsung pentas di hadapan para petinggi Negara tersebut. Yang empunya acara membuka dengan iringan musik yang khas sekali.
“Tuan-tuan dan saudara-saudara sekalian, Kali ini kami akan mempersembahkan sebuah seni tari yang lain daripada yang lain”.
Semua orang memandang dengan rasa ingin tahu.
“Penari dalam pementasan sintren ini bukanlah orang sembarangan karena ada syarat yang harus dipenuhi”. Orang-orang semakin penasaran ingin mengetahui maksud si empunya acara.
“Seorang penari sintren ini adalah seorang gadis yang masih suci. Bila ia telah bersuami atau telah tidak suci, ia tidak akan bisa meneruskan acara karena ia tidak akan bisa bangkit untuk menari.”
“Sebelumnya kita panggil seorang yang menjadi pawang atau dukun untuk memimpin acara ini”.
“Silahkan Ki Ageng”.
“Dan penari kali ini adalah Cik Yuni. Silahkan”. Sinden itu menyuruhku maju.
Kini hanya aku dan Ki Ageng yang tampil. Ki Ageng kemudian membawa nampan berisi kembang dan perlengkapannya. Ditambah dupa yang segera di bakarnya. Bau dupa kemudian menyebar ke setiap penjuru.
Alunan musik perlahan-lahan mulai membahana mengisi keheningan malam. Ki Ageng kemudian memberikan isyarat agar aku melangkah ke tengah lapangan. Akupun melangkah seperti yang diperintahkan Ki Ageng. Semua merasa heran, kenapa sama sekali aku tidak mengenakan kostum penari, hanya celana panjang hitam berbalut kaos.
Ki Ageng terus berkomat-kamit mengucapkan mantra-mantra. Kemudian terdengar suara Ki Ageng dengan cukup keras.
“Wahai anakku, tidurlah. Sudah waktunya kau tertidur dan dibuai dalam mimpi”, kata Ki Ageng sambil menatap mataku. Kemudian pandanganku menjadi redup dan awan-awan hitam berkecamuk dalam pandanganku.
            Sekelebat itulah Ki Ageng melesat di belakangku yang sedang tertidur tak sadarkan diri sambil berdiri. Kemudian menarik tubuhku ke belakang dan akhirnya aku didudukkan di atas tanah, serta diikat tali.
            Lalu muncullah dua orang penari lain dari balik panggung. Surti bertugas membawa sepotong kain hitam sementara Warti membawa kurungan ayam yang besar.
            Para petinggi Negara masih menonton dengan mata menerawang, melihat hal-hal aneh di sekitarnya. Ki Ageng memasang kurungan ayam itu di atas tubuhku. Kemudian kurungan ayam itu ditutup oleh kain hitam sehingga tubuhku tak terlihat mata yang memandang.
“Para hadirin lihatlah, tubuh Cik Yuni sudah masuk dalam kurungan ayam dengan tangan terikat tali dengan eratnya”.
Kemudian dari samping panggung muncul seorang penari wanita berkebaya lengkap. Dengan gemulainya wanita tadi menari dengan diiringi suara-suara gendang yang berbunyi nyaring.
Rasa penasaran mulai terlihat dari wajah para penonton. Mereka menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Lima belas menit kemudian Ki Ageng menarik kain hitam yang menutup kurungan. Suara musik terdengar makin pelan.
Aku yang semula menari dengan pakaian seadanya dengan dibalut kaos dan celana panjang hitam kini telah berubah menjadi Cik Yuni yang lain. Aku kini berubah menjadi sesosok tentara berpakaian lengkap dengan gagahnya. Dengan membawa pistol besar, aku seolah hendak siap berperang. Penonton terkejut. Tak terkecuali Ki Ageng. Pertunjukkan sintren yang biasa dimainkan Ki Ageng sebagai dalang dan aku sebagai penarinya sudah berubah bentuk.
Entah kekuatan dari mana yang membuatku seperti ini, aku tak tahu. Tubuhku terasa panas. Panas menyengat seperti tentara yang sudah kalah perang. Tubuhku, pikiranku, cahaya hidupku sudah dikunkung oleh adat dan ritual yang begitu mengikat. Aku dikuasai oleh kekuatan gaib. Kekuatan yang membawaku ke alam lain. Kekuatan yang hendak membawaku bertempur. Bertempur melawan diri sendiri. Bertempur melawan mahluk-mahluk di sekitarku. Bertempur melawan alam.
Tubuhku terus menerus dikuasai kekuatan yang entah darimana datangnya sampai semuanya menjadi riuh.
Riuh, semakin lama semakin gaduh hingga tak terdengar lagi siapa yang membisikanku. Sampai aku tak tersadar dan tak mempu bangkit untuk meneruskan acara ini. Semuanya hitam, kelam. Dan purnama pun tak mau manampakkan batang auranya lagi.
   
                                                                                    Cirebon, Mei 2008.